loading…
Suasana belajar mengajar menggunakan Chromebook Di kelas Di Amerika. Foto: ist
Gadget yang mereka gunakan kemungkinan besar adalah Chromebook—laptop sederhana, aman, dan terjangkau yang telah menjadi standar emas Belajar Di Negeri-genggara maju.
Bersama Australia hingga Inggris, Bersama Kanada hingga Selandia Mutakhir, Chromebook adalah simbol efisiensi dan aksesibilitas.
Tetapi, Di belahan dunia lain, kisah yang sama terdengar seperti fiksi ilmiah yang jauh Bersama kenyataan. Di Ditengah gembar-gembor harganya yang murah, mengapa Gadget ini justru menjadi pilihan yang problematis dan kurang populer Di Negeri berkembang, terutama Di Indonesia?
Jawabannya adalah sebuah paradoks yang menyakitkan: kekuatan terbesar Chromebook justru menjadi kelemahan fatalnya Di Area yang paling membutuhkannya.
Bergantung Penuh Di Duniamaya
Secara filosofi, Chromebook adalah terminal Di Duniamaya. Ia dirancang Sebagai hidup Di dunia maya, Bersama Platform ringan yang menyimpan sebagian besar data dan menjalankan Inisiatif Melewati cloud.
Tanpa Hubungan Duniamaya yang stabil dan cepat, sebuah Chromebook secara drastis kehilangan fungsinya. Inilah jurang pemisah Di Negeri maju dan Indonesia. Sambil siswa Di Tokyo bisa mengandalkan Wi-Fi Di setiap sudut, jutaan siswa Di Indonesia berjuang Sebagai sekadar Merasakan satu bar sinyal.
Data Bersama Center of Economics and Law Studies (CELIOS) melukiskan gambaran yang suram. Direktur Ekonomi Digital Celios, Nailul Huda, mengungkapkan fakta yang menohok: Di 2021, hanya Di 17% hingga 20% desa Di Area Maluku dan Papua yang Memiliki akses Duniamaya berkualitas baik.
Artikel ini disadur –> Sindonews Indonesia News: Mengapa Chromebook yang Merajai Sekolah Negeri Maju Justru Melukai Belajar Di Indonesia?