KMPKP mengapresiasi DKPP atas putusan tegasnya memberhentikan Hasyim Asy’ari sebagai Ketua dan Anggota Penyelenggara Pemungutan Suara. Foto/SINDOnews
”Pembatasan pemberhentian tetap adalah keputusan terbaik Sebagai menghentikan segala bentuk Kekejaman Pada perempuan dan menjadi pesan yang tegas bahwa tidak ada ruang atau pun toleransi Untuk pelaku Sebagai menjadi Pada Di penyelenggara Pemungutan Suara Rakyat Ke Indonesia,” bunyi keterangan tertulis diterima SINDOnews, Jumat (5/7/2024).
KMPKP sendiri terdiri atas Sekjen Gabungan Parpol Perempuan Indonesia (KPI) Mike Verawati Tangka, Yayasan Kalyanamitra Listyowati, Direktur Eksekutif International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) Iwan Misthohizzaman, Direktur Eksekutif NETGRIT Hadar Nafis Gumay dan Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati.
Samping Itu, Wakil Koordinator Maju Perempuan Indonesia (MPI), Dosen Pemungutan Suara Rakyat FHUI Titi Anggraini, Kadiv Penyuapan Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Egi Primayogha, Dosen FHUI dan Anggota Badan Pengawas Pemungutan Suara 2008-2012 Wirdyaningsih, Setelahnya Itu perwakilan Maju Perempuan Indonesia (MPI) sekaligus anggota Badan Pengawas Pemungutan Suara 2008-2012 Wahidah Suaib. Ketua Dewan Pendiri Institut Perempuan Valentina Sagala dan Communication International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) Intan Bedisa.
Untuk Putusan Nomor 90-PKE-DKPP/V/2024 terbukti bahwa terdapat relasi kuasa Di Pengadu dan Teradu Supaya terjadi hubungan yang tidak seimbang. Situasi ini merugikan Pengadu selaku perempuan Sebab berada Ke posisi yang tidak dapat menentukan kehendak secara bebas dan logis. Alhasil, Teradu bisa melakukan Kekejaman Pada korban Di memaksa dan menjanjikan sesuatu yang melanggar integritas dan profesionalitasnya sebagai Ketua sekaligus Anggota Penyelenggara Pemungutan Suara.
DKPP menegaskan Hasyim Asy’ari selaku Teradu telah menggunakan pengaruh, kewenangan, jabatan, dan fasilitas Negeri Sebagai Menyaksikan keuntungan pribadi. Samping Itu, Teradu telah memanfaatkan berbagai situasi Untuk kapasitasnya sebagai Ketua Penyelenggara Pemungutan Suara Untuk melakukan tindakan yang memaksa dan menjanjikan sesuatu Untuk hal melakukan tindakan asusilanya.
Teradu terbukti melanggar Syarat Pasal 6 ayat (1) Pasal 6 ayat (2) huruf a dan c, Pasal 6 ayat (3) huruf e dan f, Pasal 7 ayat (1), Pasal 10 huruf a, Pasal 11 huruf a, 12 huruf a, Pasal 15 huruf a dan huruf d, Pasal 16 huruf e, dan Pasal 19 huruf f Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemungutan Suara Rakyat. “Berdasarkan Gaya atas kecenderungan yang ada Ke lingkungan penyelenggara Pemungutan Suara Rakyat, Peristiwa Pidana Kekejaman berbasis gender Ke lingkungan penyelenggara Pemungutan Suara Rakyat telah Meresahkan tajam,” tulisnya.
Ke periode 2017-2022, terjadi 25 Peristiwa Pidana Kekejaman seksual yang ditangani DKPP. Setelahnya Itu Ke 2022-2023, terdapat 4 Peristiwa Pidana. Sedangkan Ke 2023 Meresahkan tajam sebanyak 54 perbuatan asusila dan pelecehan seksual yang dilaporkan Hingga DKPP. Berbagai Peristiwa Pidana tersebut terdiri Di pelecehan, intimidasi, diskriminasi, narasi seksis Pada Kandidat perempuan, Kekejaman fisik, hingga Kekejaman seksual Ke ranah privat maupun publik.
Malahan berdasarkan temuan Di Kalyanamitra, misalnya terdapat pemaksaan perkawinan Di motif kepentingan Pemungutan Suara Rakyat juga ditemukan Ke Sulawesi Selatan. Di eskalasi Peristiwa Pidana yang Lebih Meresahkan, KMPKP menilai putusan DKPP ini menjadi langkah tegas sekaligus sinyal yang kuat Sebagai terus mengukuhkan dan menjaga konsistensi perlindungan perempuan Untuk Pemungutan Suara Rakyat.
”Putusan ini harus menjadi preseden Hingga Di Sebagai ditegakkan secara konsisten bahwa tidak ada impunitas Pada pelaku Kekejaman seksual, khususnya Ke ranah Pemungutan Suara Rakyat. Paradigma ini penting agar tidak mengendorkan semangat perempuan Sebagai menjadi subjek penting Untuk Karya Pemungutan Suara Rakyat Ke Indonesia baik sebagai pemilih, penyelenggara, maupun peserta,” katanya.
Berdasarkan studi yang telah dirilis Kalyanamitra Ke 24 Juni 2024, ditemukan faktor dan akar Kekejaman berbasis gender Untuk Pemungutan Suara Rakyat 2024 adalah adanya ideologi patriarki dan norma gender, stereotip gender, ketimpangan relasi kekuasaan, kurangnya kesadaran dan Pembelajaran, kurangnya regulasi dan perlindungan, serta impunitas. Hal tersebut Menunjukkan penyelenggaraan Pemungutan Suara Rakyat memang Berpotensi Sebagai menjadi ruang yang rawan Untuk perempuan.
Artikel ini disadur –> Sindonews Indonesia News: DKPP Copot Hasyim Asy’ari, KMPKP Desak Penyelenggara Pemungutan Suara Berbenah dan Buat Pedoman Penanganan Kekejaman Gender