loading…
Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama
KONFLIK yang berkepanjangan Di Palestina dan Israel tidak hanya menjadi peristiwa Hubungan Dunia, melainkan juga tragedi kemanusiaan yang mencerminkan kompleksitas relasi internasional, asimetri kekuasaan, serta krisis nilai-nilai universal. Gencatan senjata (ceasefire) yang telah disepakati berkali-kali kerap dilanggar, utamanya Bersama serangan militer Israel yang secara sistematis mengoyak struktur sosial dan psikologis Komunitas Palestina. Realitas ini Memperkenalkan lanskap penderitaan yang multidimensional, baik secara fisik, mental, maupun spiritual.
Trend Populer ini tidak dapat direduksi Untuk satu perspektif tunggal. Eskalasi konflik Ke Palestina merepresentasikan realitas sosial yang kompleks, yang memunculkan respons beragam Bersama Komunitas Dunia. Untuk konteks sosiologi konflik, respons-respons tersebut dapat dilihat sebagai artikulasi Bersama struktur kesadaran kolektif (collective consciousness) yang berbeda-beda Untuk merespons ketidakadilan. Sebagian Komunitas internasional memosisikan diri secara prosedural, mempercayakan sepenuhnya penyelesaian konflik Lewat jalur Politik Luar Negeri dan mekanisme hukum internasional. Tetapi, Untuk pendekatan ini sering kali terjadi apa yang disebut sebagai “apathetic diplomacy”, yaitu sikap netral yang berlebihan hingga mengabaikan penderitaan kemanusiaan atas nama stabilitas politik dan kepentingan strategis.
Ke Di Yang Sama, terdapat pula kelompok Komunitas yang melihat konflik ini Lewat pendekatan humanistik. Perspektif ini memusatkan perhatian Ke penderitaan warga sipil yang menjadi korban utama Bersama Kekejaman struktural dan simbolik. Mereka Menunjukkan solidaritas lintas batas Bersama menyalurkan Dukungan, Mobilisasi donasi, dan mengampanyekan penghentian Kekejaman. Solidaritas lintas iman dan lintas Bangsa Untuk gerakan ini Menunjukkan bahwa nilai-nilai kemanusiaan bersifat transkultural dan melampaui sekat-sekat identitas.
Tetapi, yang juga perlu dicermati secara kritis adalah ekspresi solidaritas emosional yang bersifat reaktif dan impulsif. Untuk konteks ini, sebagian Komunitas yang Menyaksikan guncangan psikologis dan spiritual yang mendalam merespons konflik Bersama intensitas emosi yang tinggi. Beberapa Bersama mereka terdorong Sebagai Membahas tindakan langsung, Malahan sampai Ke titik ingin berjihad secara fisik Ke Daerah konflik. Respons semacam ini sering kali dibingkai Untuk narasi keagamaan yang, sayangnya, rentan Menyaksikan simplifikasi dan manipulasi ideologis. Ke sinilah letak problematisnya: narasi keagamaan yang seharusnya menjadi sumber kedamaian justru direduksi menjadi alat legitimasi tindakan-tindakan yang kontraproduktif Pada Keamanan Dunia itu sendiri.
Trend Populer ini sejalan Bersama Konsep ideologi transnasional yang Untuk studi Politik Luar Negeri dijelaskan sebagai penyebaran ide dan keyakinan lintas Bangsa yang dapat mempengaruhi perilaku kolektif. Untuk konteks media sosial yang sangat cair dan cepat, arus informasi yang tidak terverifikasi Bersama mudah membentuk opini publik dan menciptakan ilusi partisipasi Untuk konflik. Disinformasi, agitasi, dan propaganda menjadi instrumen utama Untuk konstruksi realitas yang semu Tetapi memengaruhi afeksi publik secara nyata.
Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila dan prinsip Keamanan Dunia universal, Indonesia harus mampu menyikapi realitas ini secara bijaksana dan proporsional. Solidaritas Pada Palestina tidak harus diwujudkan Untuk bentuk partisipasi militan, tetapi dapat dimanifestasikan Lewat Politik Luar Negeri kemanusiaan, penguatan peran Komunitas sipil, serta Pelatihan publik yang menanamkan nilai-nilai harmoni dan toleransi. Untuk konteks inilah, penting kiranya menegaskan kembali Konsep jihad Untuk dimensi spiritual. Rasulullah SAW pernah Mengungkapkan bahwa jihad terbesar adalah jihad melawan hawa nafsu (jihad al-nafs), yakni perjuangan internal Sebagai mengendalikan ego, amarah, dan dorongan destruktif Untuk diri. Perspektif ini sangat relevan Sebagai meng-counter narasi ekstremisme yang tumbuh Untuk ruang-ruang digital dan komunitas yang rentan.
Sesudah Lewat bulan suci Ramadan, umat Islam sejatinya telah dilatih Sebagai menaklukkan hawa nafsu dan membangun sensitivitas sosial. Momentum ini hendaknya dijadikan sebagai titik balik Sebagai memperkuat solidaritas yang konstruktif, yakni Bersama cara memperluas Unjuk Rasa kemanusiaan, Meningkatkan kesadaran publik, dan Mendorong Aturan luar negeri yang berbasis keadilan dan penghormatan Pada Ham.
Untuk merawat Keamanan Dunia dan mencegah radikalisasi, diperlukan pendekatan harmoni yang bersifat terintegrasi. Harmoni sosial tidak bisa lahir Bersama satu pendekatan tunggal. Ia membutuhkan sinergi Di pendekatan spiritual-transformatif, humanistik-inklusif, dan literasi-digital kritis. Pendekatan spiritual-transformatif memposisikan agama bukan hanya sebagai sistem kepercayaan, tetapi juga sebagai energi moral yang Mendorong rekonstruksi diri dan Komunitas secara berkelanjutan. Pendekatan humanistik-inklusif menegaskan pentingnya melihat setiap individu sebagai Dibagian Bersama komunitas Dunia yang Memperoleh martabat dan hak yang setara. Sambil pendekatan literasi-digital kritis diperlukan Sebagai membekali Komunitas Bersama kemampuan memilah informasi, mengidentifikasi hoaks, dan menghindari jebakan narasi biner yang sering kali menyesatkan.
Ketiga pendekatan tersebut seyogianya tidak berjalan sendiri-sendiri, melainkan terintegrasi Untuk sistem Pembelajaran, narasi keagamaan, dan Aturan publik. Karenanya, Indonesia tidak hanya tampil sebagai bangsa yang peduli Pada Topik Palestina, tetapi juga sebagai contoh Bangsa yang mampu merespons konflik Dunia Bersama cara yang beradab, rasional, dan berkeadilan.
Artikel ini disadur –> Sindonews Indonesia News: Memotret Aturan Palestina dan Urgensi Harmoni Sosial Untuk Perspektif Dunia